Tuesday, November 28, 2017

Kenapa Anda Harus Menikah?

Kenapa Harus Menikah?
oleh: henz

Bagi beberpa orang, menikah adalah legalitas seks itulah kenapa Anda begitu menunggu malam pertama. Sebagian lagi bilang bahwa menikah adalah demi keamanan finansial itulah kenapa setelah cerai harta gono-gini diperebutkan jika pasangan Anda kaya.
Menikah, let me ask you guys again, perlukah menikah? Apa untungnya sih punya satu pasangan dimana Anda hanya boleh tidur sekamar dengan dia seorang? Apa nggak bosen? Gak kepengin ganti yang lebih yahud?

Tulisan ini khusus saya buat untuk Pria bagi Anda yang merasa wanita harap segera hentikan membaca tulisan ini karena tulisan ini akan dipenuhi unsur-unsur antifeminis di sana-sini yang membuat Anda muak dan malah membenci saya, but if you're a fucking guy and not gay then go ahead keep reading and enjoy this fucking shit! Back to my point, Anda pasti berpikir kenapa saya masih begitu misoginis dan seksis? Tidak, karena saya percaya bahwa nasib peradaban umat manusia di dunia ini masih akan ditentukan sebagian besar oleh para Pria bukan Wanita. Why? Because you guys are the leader? Sekarang saya tanya lagi untuk kesekian kalinya. Kenapa? Kenapa Anda butuh sekali nikah? Untuk bisa seks? Well, kalau cuma seks, kenapa harus nikah? Kalau Anda mengabaikan norma agama, sosial dan Anda punya uang setidaknya 150 ribu Anda bisa sewa wanita tuna susila dan ngeseks dengannya sampe puas, atau kalau Anda takut kena penyakit kelamin, Anda bisa seks dengan pacar Anda pakai kondom rasa buah sudah enak, aman, gratis pula.
"Tidak, bukan seks tujuan gua nikah, nyet gua pingin hidup gua kelak di masa tua ada yang ngurus which is anak gua!" Protes Encing Juki dengan logat khas betawinya.

Anda yakin Juk? Dengan menikah kehidupan tua Anda akan terjamin? Berarti Anda secara sadar bilang bahwa anak Anda yang akan menanggung derita Anda di masa tua Anda? Anda jahat sekali ngelahirin anak cuma buat simpenan masa tua emang Anda pikir anak Anda asuransi M***l***? Faktanya saat Anda tua kebanyakan anak Anda sudah tidak akan peduli lagi dengan Anda. Menyedihkan, but it's trie. Kenapa? Karena kemungkinan mereka juga akan berkeluarga dan mereka pasti lebih mikirkirkan anak mereka yang belum bayar SPP dari pada Anda yang mulai terserang alzheimer karena kebanyakan ngopi.

Dengan menikah Anda bisa dilayani istri, dimasakin, dipijit, pekerjaan rumah tangga terurus? Well, kalau itu tujuan Anda menikah, apa bedanya dengan sewa asisten rumah tangga? Dengan upah dibawah UMR, Anda bisa dimasakin, dibikinin kopi, apapun yang Anda perintah dia pasti akan kerjakan dan gak akan ada ceritanya ngambek-ngambekan gara-gara alesan PMS dan bete bahkan kalau Anda minta dipijitin mereka juga gak akan nolak wong Anda yang bayar mereka. Tapi jangan keterlaluan! Mentang-mentang Anda yang bayar terus Anda boleh menyiksa mereka seenak jidat macam TKI kita di negeri orang itu. That's keterlaluan. Be smart!

Well, what's next? Apalagi alasan dibalik menikah? Karena dipaksa orang tua? Lingkungan sosial akan melabeli Anda perjaka tua, bujang lapuk, atau label-label dan pandangan negatif lainnya terhadap Anda yang masih saja masturbasi? Don't worry! Kali ini saja ya? Saya akan membela Anda. Pernahkan Anda melihat pasangan suami istri yang di awal menikah mesranya minta ampun tapi beberapa tahun setelah menikah tingkah mereka seperti tom and jerry yang lagi berantem main gebuk sani gebuk sini, berkata kasar pada istri begitupun sebaliknya, selingkuh dengan cabe-cabe-an atau terong-terong (which basically saya tidak tahu istilah gaulnya hot chicks dan hot boys), dan masih banyak lagi yang kalau saya sebutkan semua justru membuat citra pernikahan yang dipandang masyarkat sebagai sesuatu yang sakral, suci dan mahadahsyat menjadi tercemar dan malahan lebih terhormat jadi jomblo. Go ahead and celebrate, jomblo! Kalau orang tua Anda benar-benar sayang Anda harusnya mereka tidak memaksa Anda untuk segera menikah karena setiap keputusan ada di tangan Anda. Pada dasarnya kalau Anda tidak ambil pusing perkataan mereka, Anda bisa berkata pada mereka "Go Fuck Yourself!" dan kembali hidup normal sebagai orang merdeka. Orang yang merdeka dari delusi pernikahan yang katanya bisa bikin bahagia padahal... Anda sendiri sudah bisa jawab?

Saya tidak menganjurkan Anda yang sudah menikah untuk kembali menjadi single. No, don't be stupid! Saya dari tadi berbicara kepada Anda-Anda yang masih single. Kalau Amda sudah menikah dan kebetulan baca tulisan ini, who are you? I am not talking to you, sir! Karena, Anda tahu tidak apa masalah kependudukan yang sedang terjadi di negara kita tercinta ini? Tidak tahu? Oke simpelnya negara kita ini dari dulu cuma kena apesnya aja. Mulai dari diperes sama kumpeni selama 350 tahun, dikeruk sumber daya alam sama korporat keparat, sampai masalah internal seperti kependudukan which is basically thought bahwa banyak anak banyak rejeki juga termasuk.
Tidak! Banyak anak, di jaman sekarang ini, bukan lagi berarti banyak rejeki. Kecuali Anda Bill Gates.

Jadi apa solusi untuk masalah kependudukan? Kontrol kelahiran. Bukan kontol ya tapi kontrol. Harap dibedakan! Kenapa kontrol kelahiran ini penting? Karena Kontrol kelahiran ini perlu agar di Indonesia tidak terjadi yang namanya overpopulation. Kenapa? Karena kalau di Indonesia kebanyakan orang, Anda akan susah cari kerja, harga-harga naik, kriminalitas tinggi, banyak kemiskinan, you name it seperti sekarang mungkin! Kontrol kelahiran ada dua cara yaitu dengan kontrasepsi dan menikah di saat yang tepat (What saya plin-plan? Tidak! Let me explain you more!). Kalau hidup Anda tanpa perencanaan jangka panjang dan Anda memutuskan menikah karena Anda hanya bermodalkan suka dengan wanita seksi sebut saja namanya Via dan tidak KB, beli kondom, dan lain sebagainya lalu main burung-burungan. Maka Anda sesunguhnya menyengsarakan hidup diri sendiri dan hidup orang lain. Basically, sengsara buat Anda sendiri yang harus kerja banting tulang untuk menghidupi istri dan Anak, sengsara buat buat anak dan istri karena Anda tak bisa memberikan kehidupan yang layak. Akibatnya apa lagi selain Anda bagi-bagi kesengsaraan ini pada istri dan anak Anda? Sengsara bagi Negara. Why negara juga kena imbasnya? Karena negara harus lagi-lagi nomboki kehidupan Anda melaui subsidi. Kalau harga segala kebutuhan naik dan tak di subsidi silang oleh negara, lalu Anda tak bisa beli paketan Anda akan protes ke pemerintah yang semena-mena menaikkan harga BBM? Maka ketika kinerja Anda turun di perusahaan tempat Anda bekerja dan Anda dipecat Anda akan memohon kepada bos Anda seraya bilang "Jangan pecat saya pak saya punya anak tiga!" dengan berlinangan air mata.

Kenapa kok saya jahat sekali di tulisan kali ini dan terkesan "mengutuk" pernikahan? Tidak saya tidak mengutuk, membenci atau menyalahkan pernikahan. Kenyataannya, saya tetap berharap bahwa I wish I could marry my future girl someday, too. Yang saya kritik di sini adalah keinginan untuk menikah di saat waktunya belum tepat, di saat masih ada banyak hal yang belum Anda coba di dunia yang indah ini tetapi Anda dipusingkan dengan urusan keluarga, di saat ada ribuan ide bisnis untuk diwujudkan tetapi Anda tunda karena prioritas beli susu anak Anda lebih penting, di saat Anda bisa berkeliling dunia seorang diri dan menapaki keindahan alam lalu tiba-tiba telpon Anda berdering menandakan istri Anda minta dijemput. Tidakkah Anda sadar dengan menikah terlalu dini membuat kesempatan bahagia yang saya sebutkan di atas akan sirna begitu saja. Kecuali Anda Bill Gates.

Ketahulah bahwa ada sampah berserakan di mana-mana. Di TV, di media online,  dan di sosial masyrakat, mereka selalu saja mengkampanyekan keindahan pernikahan tanpa mengikutsertakan kampanye terbuka soal bagaimana hidup dalam pernikahan aka (buruknya pernikahan). Bermodalkan suka dan berani seseorang dengan pedenya melamar kekasihnya dan diliput televisi demi rating, Anda pikir bisa membuat semua pihak diuntungkan dengan bermodal suka dan berani? Nope, kecuali Anda ikut acara di TV tersebut dibayar lalu rating acaranya melesat tajam. Semua itu cuma delusi yang dibuat media mainstream untuk Anda supaya Anda "tercercahkan" bahwa kebenaran hidup adalah seperti di televisi. No, TV pada dasarnya motifnya adalah berjualan dan merupakan roda penggerak dunia kapital. Percayalah akan ada momen dimana mereka rela menggadaikan kebenaran demi rating.
Saya sudah muak dengan pemberitaan di TV bahwa seorang bapak merampok untuk membeli susu anaknya, seorang bapak menjual ginjal demi sekolahkan anak, seorang bapak membunuh majikannya dan merampas harta bendanya untuk keperluan keluarga, dan masih banyak lagi berita miring dimana pelaku yang mengatasnamakan "cinta keluarga" seolah dimaklumi untuk berbuat apa-pun termasuk kriminal.

Intinya adalah saya ingin Anda menikah di waktu yang tepat. Yes, tepat mental dan material karena Anda sanggup dan mampu untuk membuat setidaknya Anda sendiri berkecukupan dulu baru kemudian menikah. Pada dasarnya saya ingin Anda, saya dan para pria hebat single lainnya di luar sana jadi kaya. Ya jadi kaya sekaya-kayanya sampai kita bisa berlibur ke Antartika, punya jet pribadi, terbang di gravitasi nol, menonton Juventus live di Allianz Stadium, dan bisa melakukan segala hal menakjubkan lainnya sebelum dipusingkan dengan pertanyaan;

"Pa, minta lima juta buat bayar UKT!"

ILOVE YOU, GUYS! DON'T LET THOSE STUPID ASSHOLE JUDGE YOU! BE HAPPY! 🌈☺

Monday, November 27, 2017

Ketahuan Browser History sama Ortu

Ketahuan Browser History Sama Ortu.
oleh: Henz


Beberapa bulan lalu ibu dan aku hendak pulang ke Madiun. Kami naik bis Ek* milik WNI asal Mojokerto tapi tetap saja dilabeli Sin**ek oleh masyarakat pada umumnya hanya karena ia sedikit agak kuning dan bermata sipit. Diperjalanan ibuku hanya bermain WhatsApp membalasi beberapa geng smpnya yang katanya mau mengadakan reuni beberapa hari setelah lebaran. Aku disuruhnya ikut karena ibu tak punya sim. Sekitar sejam lebih, HP yang ia mainkan pun lowbatt. Kami berdua tak punya power bank, alhasil ibu meminjam HP Sm**f**ku 4G (Produk S*n*M** yang juga S*ng***) yang masih beberapa minggu baruku beli (sombong) untuk mendengarkan lagu. Aku pun menuruti permintaannya seraya memberikan earphone padanya. Aku sebetulnya berat hati sih karena aku sedang asyik-asyik melihat video lucu Amanda Cerny di instagram tapi yaudahalah HPnya tak kasih dari pada gak dikasih makan.
"Lagumu kok barat semua to? Ndak ada Poppy Mercury?" Protesnya.
"Yang barat lama cuma Brian Adam tok, buk." Jawabku.
Aku cuma memperhatikan wanita tua itu mengutak-atik HP baruku itu dengan lambat, khas orang tua gaptek yang masa kecilnya dihiasi permainan Gobak Sodor, Cublek-cublke Suweng dan Gundu. Jauh dari peradaban modern, wong listrik aja ia belum ngonangi katanya. Aku pun menoleh ke kaca samping menyaksikan pemandangan indah persawahan kota Jombang yang hijau nan asri.
"Gak punya liriknya ki, Bud?" Tanya ibu.
"Gak belum tak instal." Jawabku acuh sambil tetap memandangi persawahan itu.
Tak lama berselang sebuah cubitan mendarat di bahuku juga di pinggangku. Ibu mencubitku seraya berbisik.
"Gini ya minta pulsa katanya buat tugas gak taunya buat cari porno." Katanya perlahan namun sudah pasti membuatku shock sampai bola mataku melotot mau copot.

Aku tak berani menjawab apa-apa kecuali seperti tadi melotot, aku mulai melirik ke arah HP yang digenggam ibu yang menampilkan pencarian Google Chrome li dengan suggested search dibawahnya licking asshole maid fuck, live stream japanese porn, lisa ann milf fucks boy dan sebagainya dengan tulisan-tulisan bernada porno lainnya.
"Kamu masih nyimpen videonya?" Tanyanya dengan pandangan penuh amarah.
Aku terdiam lesu. Aku harus mencari alasan yang logis agar ibu percaya bahwa aku bukanlah seorang maniak video porno. Lagi pula bukannya setiap pria normal hobi atau setidaknya pernah nonton porno ya? Batinku.
"Anu anu anu anu.." Entah sudah berapa anu kuucapakan saat itu.
"Kemarin di pake temanku bu aku gak tahu apa-apa." Jawabku menyalahkan teman imajiner yang entah siapa.
"Jangan bohong! Hapus nggak!" Pintanya.
"Iya." Jawabku singkat sambil menundukkan kepala.

Aku pun menghapus seluruh browser histori di HPku. Ibu seperti kehilangan minatnya untuk mendengarkan lagu lewat HPku. Aku tak berani lagi bermain HP. Ibu pun tak secerewet biasanya kalau kebetulan kami satu bis. Hari itu ia terdiam. Aku terdiam juga. Tidak bicara. Membisu. Raut muka wanita tua itu penuh kemarahan. Seorang kondektur mendekati kami menawarkan aqua gelas dengan ramahnya. Dari Jombang sampai masuk terminal Madiun kami tak saling bicara.
Dari kisah diatas menunjukan betapa naifnya kita sebagai manusia menanggapi isu porno. Seolah-olah mereka para pemirsa setia porno adalah makhluk terkutuk di dunia ini. Naif karena melupakan fakta bahwa seks adalah naluri alamiah manusia yang harus dipenuhi setelah makan. Fraud yang katanya Bapak Psychology Modern bilangnya motif seksual. Jadi basically, apapun yang dikerjakan manusia semata-mata hanya untuk mencari kepuasan seksual. Mari persingkat ini jadi lebih simpel. Seorang pria, dia belajar matian-matian, ikut bimbel, les dan segala macam demi bisa lulus UN, kuliah ipk 4.01 dapat kerja, dapet istri cantik, nikah, lalu ngeseks. Or even saat masih kuliah Anda ingat kenapa Anda ikut UKM hanya untuk bisa dekat atau berkenalan dengan kakak tingkat yang cantiknya bagai bintang porno jepang kesayangan Anda? Atau kenapa Anda jadi semangat sekolah saat tahu bahwa guru IPS Anda waktu SMA adalah seorang yang cantik yang baru lulus dari kuliah? Itulah motif seks. You guys are looking for sex. Don't get me wrong! Me, too, bitch!
"Ah tapikan gua ikut OSIS supaya dapet pengalaman, kontol?" Protes Juki, teman saya dari Depok.
Anda yakin Juk yang Anda cari cuma "pengalaman"? Bukan pengalaman bisa deket dengan adik kelas yang imut yang kalau ada kesempatan Anda selalu mengSMSnya? Oke kalau toh pengalaman yang Anda cari. Namun pada akhirnya Anda sebagai pria akan menggunakan pengalaman tersebut untuk bisa dekat dengan wanita cantik supaya Anda bisa seks dengan wanita tersebut melalui pernikahan kelak dikemudian hari atau kalau Anda womanizer bisa langsung mengajak mereka one night stand di kamar kost Anda.

Nalurilah yang membuat kita bisa tetap hidup selama berjuta-juta tahun lamanya dari serangan meteor yang membunuh Dinosaurus, zaman es yang membunuh Mammoth atau bah di cerita Noah yang membunuh banyak makhluk hidup. Pada dasarnya semua manusia punya Naluri Bertahan Hidup. Naluri bertahan hidup itu bisa bermacam-macam wujudnya lewat makan, minum, berak atau naluri untuk memperbanyak diri atau keturunan dengan cara melakukan Seks. Jadi kenapa Anda suka seks? Ya karena itu naluri Anda sebagai manusia yang ingin terus eksis di planet bernama bumi ini. Sama halnya seperti makan, minum, onani dan lain sebagainya naluri tersebut akan mentriger apa saja yang harus Anda sekarang di detik ini untuk memanifestasikan seks dikemudian hari. Lucunya adalah banyak orang atau media sekarang seolah mengatakan kebohongan tentang seks. Seperti menonton porno membuat otak Anda menciut, membuat Anda tidak fokus dan membuat Anda tidak bisa berpikir logis, dan bla bla bla yang simplenya adalah dengan menonton porno Anda akan jadi bodoh. Itulah kata mereka. Well kalau memang menonton porno membuat otak manusia menciut kenapa produsen porno terbesar adalah negara maju macam Jepang dan Amerika yang notabene berisi orang-orang intelek dan gudangnya penemu dan ilmu pengetahun? Faktanya Jepang makin maju dengan bikin robot, Amerika makin maju dengan bikin alat pengebor minyak.
Jadi menurut saya nonton porno lalu setelahnya masturbasi adalah WAJAR. Apa wajar? Yeah it's fucking normal, dude. Jangan munafik and I believe every body does it. Yang membuatnya tidak wajar adalah saat mentalitas Anda belum cukup dewasa untuk menonton, saat Anda masih suka bermain permainan anak-anak yang sungguh mengasyikan, atau saat Anda masih belum cukup umur tapi Anda dikasih pegang Gadget yang ora tua Anda pikir lucu padahal keliru. Ketahuilah mengajari anak Anda cebok lebih diperlukan bagi anak Anda dari pada mengajari mereka berpose mata genit di Instagram. Saat mereka yang belum memasuki usia ideal untuk diperbolehkan menonton porno, bisa dengan mudah mengakses porno melalui android mereka, saat itulah penyalahgunaan hasrat seksual terjadi, perkosaan, prostitusi, dan lain sebagainya perusak mental generasi micin. Nah yang begitu baru salah.
Karena saya percaya bahwa bahwa yang merusak generasi muda sekarang bukan sepenuhnya salah porno. Tetapi orang tua yang berhenti untuk belajar sesuatu yang baru. Saya ulangi dengan huruf kapital YANG MERUSAK GENERASI MUDA SEKARANG BUKAN SEPENUHNYA SALAH PORNO. TETAPI ORANG TUA YANG BERHENTI UNTUK BELAJAR SESUATU YANG BARU.

Kominko sudah benar menutup beberapa situs porno melalui internet positif. Berguna bagi anak kecil (SANGAT BERGUNA/ini tidak satir saya benar-benar mendukung Kominfo 100%) tapi tidak berguna bagi bajingan seperti saya yang tahu caranya mengganti proxy dan IP. Yang paling vital bermain dalam isu ini adalah sekali lagi saya sebutkan yaitu peran orang tua. Ya orang tua adalah guru seumur hidup bagi anak meteka maka jadi orang tua jangan sekali-kali lebih bodoh dari anak Anda. Apapun yang terjadi Anda harus lebih pintar dari anak Anda. Well kalau Anda secara akademis tidak bisa lebih pandai dari pada anak Anda yang baru lulus S2 at least Anda lebih cerdas dar pada mereka. Biar apa? Biar gak gampang ditipu, cuk!

Bisnis Jadi Anggota DPRD, Mau ikutan? Untung banget, lho! :)

Bisnis Jadi DPRD!
oleh: Henz

Beberapa tahun lalu tepatnya tahun 2009 sebut saja pak Yoyon, tetangga saya ikutan nyaleg di pemilu. Pak Yoyon ini orangnya bersahaja sekali, ia begitu merakyat. Sering ikut minggu bersih melebarkan selokan, ikut jadi peladen di acara kawinan tetangga, ikut mengecat pos kampling juga. Pernah sesakali ia menyapaku dan kebetulan aku bersepeda lewat depan rumahnya.
"Wih untomu bagus sekali, nak! Sini aku beli! Haha" Katanya sembari tertawa cengengesan.
Unto adalah sepeda kuno buatan Belanda yang sekarang sudah tidak lagi diimpor. Rodanya besar, sadelnya tinggi, dan pegangan stirnya ke belakang tidak menyamping seperti motor Herley. Kakak canggah (atasnya buyut) mburuh di kumpeni dan diberi sepeda itu sebelum keluarga kumpeni asu itu pulkam.
"Sugeng Enjing, Pak! Monggo!" Jawabku sembari membunyikan bel untoku.
Itu kenangan terakhir kami bersenda gurau sebelum ia terpilih jadi anggota DPRD dan beberapa bulan kemudian pindah rumah dan kami tak lagi saling bertemu.
Sebelum pemilu adalah puncak-puncaknya Pak Yoyon jadi begitu ramah ke tetangga kanan kiri. Ia sering bagi-bagi duit ke tetangga. Mentraktir seluruh bapak-bapak termasuk bapakku ketika sama-sama ngopi di Warung bu Pery. Bahkan aku yang hendak beli es Marim** di warung Bu Pery pun dicegahnya untuh bayar. Dengan sombongnya ia berkata;
"Berapa es Marimas Budi ini, bu?"
Pak Yoyon menolehku dengan senyum manisnya seraya ia berkata padaku;
"Udah duitmu buat jajan yang lain saja!"
Oooo jadi esnya gratis, maka aku berniat menggunakan uangku untuk beli beberapa pisang goreng. Aku pun nyomot saja tiga pisang goreng.
"Tambah pisang goreng tiga ya, Bu Pery!" Kata Pak Yoyon agak berteriak karena kebetulan Bu Perry ke belakang.
"Loh, pak saya mau bayar sendiri." Protesku.
"Sudah uangnya buat jajan yang lain saja!" Katanya dejavu.
Aku ambil lagi beberapa tempe mendoan berniat membayarnya dengan uangku.
"Tambah mendoannya dua, bu!" Teriak Pak Yoyon membuat momen itu seperti dejavu yang tak akan pernah berakhir. Gila ini orang kaya sekali! Gumamku.
"Loh, pak saya mau bayar sendiri." Protesku lagi untuk kedua kalinya.
Kali ini Pak Yoyon sedikit terdiam, beberapa saat kemudian ia mengambil plastik. Ia mengisyaratkan agar tempe mendoan dan pisangku (goreng) dimasukkan ke plastik itu.
"Uangnya di tabung aja, Bud. Jangan jajan terus." Katanya lebih kreatif mungkin ia takut aku mengambil lebih banyak makanan lagi.
"Terima Kasih, Pak Yo!" Kataku sambil meninggalkan warung Bu Pery meninggalkannya seorang diri menikmati secangkir kopi.
Intinya adalah pak Yoyon ini jadi super duper baik hati menjelang pemilu. Dengar-dengar dari bapakku, Pak Yoyon bisa begitu lumeh (suka bagi-bagi) karena ia menjual tanahnya warisannya, beberapa sapinya, dan sawahnya sendiri.
Kebaikannya yang paling gila-gilaan adalah saat memberi memberi uang 50.000 kepada tiap rumah di desanya. Pak Yoyon terlalu baik padahal terlalu baik adalah alasan klise yang digunakan seorang cewek ketika menolak cowok. Tapi masalahnya, masyarakat tidak semuanya cewek yang tahu mana tulus mana modus. Mereka masih berpegang teguh pada asas siapa yang bagi-bagi duit paling banyak itu yang kami pilih. Masyarakat kelas teri (yang kecil tapi banyak jumlahnya) ini berharap dengan memilih yang bagi-bagi duit paling banyak, kelak kalau doi jadi akan bagi-bagi duit yang lebih banyak lagi. Sungguh pemikiran yang teramat naif. Kenapa? Karena Pak Yoyon sudah modal banyak bermilyar-milyar untuk kampanyenya, kalau ia terpilih pasti yang dilakukan pertama kali adalah gimana caranya modal gua balik. Pak Yoyon tak akan repot-repot mikirin nasib loe loe pada, nyet. Toh tanpa pemberdayaan pun, masyrakat tetep bisa makan. Toh jalan desa rusak jadi kolam lele pun, masyarakat masih bisa lewat walau pelan-pelan. Toh dana desa tak turun karena dikorupsi pun, masyarakat masih punya sapi dan kambing buat dijual. Intinya rakyat desa kami gak akan mati kelaparan kalau duit mereka disikat, jadi dosanya Pak Yoyon kalau misalnya korupsi yah ndak terlalu banyak amatlah.

Singkat cerita Pak Yoyon terpilih menjadi anggota DPRD. Mobil baru, rumah baru, beli sawah sana-sini. Hell yeah, profit sekali dalam tiga tahun modal sudah balik. Ia pindah rumah di desa lain yang halamannya luas, besar, bah istana. Sinting memang melihatnya terpilih sampai dua kali periode dengan modus yang sama.

Oke melihat kasus Pak Yoyon ini apakah ia jujur, punya bisnis sana-sini, tidak korupsi? Mungkin iya. Kalau dipikir-pikir gaji DPRD berapa sih? 10 juta, belum tunjangannya. Ya paling sama tunjangan total 40 jutalah. Tapi 40 juta per bulan itu gak cukup cuk buat beli tanah terus bangun istana, beli Hammer walaupun kredit, beli sawah berhektar-hektar walaupun bagi hasil. Nah terus Pak Yoyon dapet uang dari mana, cuk? Yo ndak tahu.
"Alaaah itu rejeki dari yang di atas loe aja kali yang sirik?" Sindir Encing Yusuf dengan logat betawinya.
Baru-baru ini, ia dan seluruh keluarga besarnya juga umroh. Sukses berat!

Bukannya aku membenci kesuksesan Pak Yoyon tapi kok ya kebangetan gitu lho kita ini gobloknya. Mau-mau aja dimasuki paham politik praktis penuh tipu muslihat. Seharusnya kalau masyarakat pinter pas kampanye itu ambil duitnya, jangan coblos orangnya! Biar orang-orang seperti Pak Yoyon ini pura-pura gila supaya gak ditagih utangnya.
Bukannya udah pesimis cenderung apatis sih. Tapi kalau masalah ini tak diselesaikan maka persepsi masyarakat terhadap anggota legislatif akan berubah. Anggota legislatif yang SEHARUSNYA menjadi wakil rakyat yang menyampaikan aspirasi rakyat justru tak akan peduli dengan rakyat. Boro-boro mikirin Anda? Mereka hanya peduli gimana caranya bagi-bagi anggaran pengadaan proyek. Semua diciprati dengan delusi "Semua Akan Indah Pada Waktunya". Jadi jangan heran kalau akan bermunculan 1,000 orang yang sebelas dua belas sama Papa* yang licinnya naudzubillah macam belut. Orang-orang kayak Papa* ini sibuk mikirin gimana caranya nyolong duit dan gak ketangkep KPK. Boro-boro mikirin kelaparan yang melanda saudara kita di timur sana, mikirin KPK yang main sadap sana-sini aja bikin pusing kepala. Masa iya mas Nazar#&$* takut bersaksi karena diancam bakal dibunuh oleh anggota leg*&#*@f. Wih itu wakilmu lo kok bisa-bisa main bunuh orang seenak jidat, cuk!
"Wong nyiram pake air keras aja wani!" Kata Udin temanku dari Batang, Jawa Tengah.
Segala manuver politik yang dilakukan beberapa anggota DeepPAre semata-semata untuk kepentingan partai dan dirinya, bukan elu, masyarakat hina yang tugasnya cuma bayar pajak! Jadi jangan heran kalau mereka dengan pedenya ketemu Trump di Amrik ngebahas mungkin freeport, bisa lolos jeratan hukum mungkin nyewa hakim, bisa pura-pura sakit mungkin nyewa dokter. Semua bisa diubah jadi panggung sandiwara sedemikian rupa sama si anjing belut licin, bakabon ini. Keren sekali!

Kritikan untuk wakil rakyat ini sebetulnya sudah bukan barang baru lagi di Indonesia. Iwan False lewat lagunya yang "...wakil rakyat seharusnya merayakat...jangan tahu nyanyian lagu setuju...", Gus Dur yang menyindir mereka tak ubahnya seperti anak TK, investigasi berita temukan kondom di gedung ah sudahlah, dan sidang kursi kosong melompong.

Kalau seperti ini, masyarkat jadi terlalu percaya sama pemerintah padahal pemerintah itu juga harus diawasi. Harusnya kan kita punya wakil yang jadi oposisi kebijakannya pak Joko secara jujur cerdas adil murni demi rakyat bukannya malah melemahkan fungsi KPK dengan bikin undang-undang yang rakyat sendiri banyak yang tak setuju. Kalau memang begitu adanya, masihkah kita harus percaya sama wakil kita? Masihkah kita perlu wakil yang sama sekali tak peduli sama kita? Masihkah Anda (maaf kali ini saya gak ikut) rela dijadikan modal bisnis pengadaan proyek? Mereka itu wakil, Anda bosnya, tapi kok Anda perintah tidak pernah didengarkan, cuk? Intinya nyaleg tak ubahnya cuma bisnis itu saja pahami dulu gak usah sok-sokan bilang demi rakyat, demi persatuan, demi Tuhan, demikian. Nyatanya gitu, kan? Saya tidak bilang bahwa semua caleg akan korupsi. Tidak! Ada beberapa anggota DPR yang punya integritas dan moral untuk tidak korupsi tapi mungkin jumlahnya tak sebanyak mereka yang berorientasi pada bisnis jadi saat sidang suara mereka yang notabene suara kita juga terabaikan. Jadi jangan heran kalau DPR ingin melemahkan KPK tapi rakyat justru ingin menguatkan KPK.
Saran kedepannya apa, mas Budi dari tadi protes mulu? Ndak tahu, cuk! Ndak tau! Ndak tahu? Toh walaupun dikorupsi proyek tetep jalan kok. Matamu ya sebagian proyek jalan dan jadi sebagian tidak, cuk! Lihat wisma atlet hambalang, sana! E-Ktp? Iyo sorry sorry gak usah emosi ta lah!

Sunday, November 26, 2017

Cina Pribumi

Emangnya Kenapa Kalau Kapitalis, Pak?

oleh: Henz

Perkuliahan pagi itu agak membuatku naik pitam gegara dosenku yang kelihatannya baru belajar Marxisme berkata bahwa etnis Tiongkok lebih dipreoritaskan haknya di Surabaya. Melihatnya menyampaikan materi kuliah agak berbau SARA tersebut, aku jadi teringat diriku dulu waktu masih maba, baru tahu komunis gegara dipinjami Aldo buku Manifestasi Kumunis tapi sudah berani tidak akan pakai sepidol sebab ia merupakan lambang hedonis.

"Sebetulnya, Surabaya ini untuk siapa sih?" Katanya membuka perkuliahan pagi itu.

Wih-wih kok hook upnya berasa tak enak ya? Batinku. Mirip-mirip seperti "Eh cuy tau nggak loe tu sebenarnya selama ini dibodoh-bodohi?" Kata Encing Yusuf dengan dialek khas betawi.

"Kalau boleh kita sebut etnis, ya?" Ia melanjutkan.
"Cina." Sambung salah salah satu temanku sekelas.

Intinya adalah si dosen muda itu ingin membuat beberapa premis keberpihakannya terhadap salah satu dari dua hal yang sengaja dibuatnya kontradiktif which is Cina vs Pribumi. Ia masih membuat sebuah persepsi bahwa kesialan, ketidakadilan, kesenjangan yang dialami masyarkat etnis, ehm, Pribumi diakibatkan karena di bangunnya apartemen, mall, perumahan mewah dan pabrik oleh para korporat yang mungkin menurutnya juga keparat. Ia begitu pandai membuka keran simpati kami bahwa ada yang tidak beres pada sistem di kota itu. Ada yang dizolimi secara terang-terangan namun malah diam. Ia mengkritisi C*put*a dan Si*** M** yang memonopoli perekonomian kota bermaskot buaya itu dengan seenaknya mencaplok tanah warga asli padahal dibeli pakai daun (uang asli). Lucunya adalah si dosmud sendiri sebetulnya orang Mataraman tapi tak apalah toh ia juga sudah beberapa tahun bekerja di Surabaya.

Intinya aku bisa menangkap maksud dosen muda itu. Ia membuat cerita dengan situasi; Cina untung Pribumi buntung. Aku paham betul bahwa dalam sastra keberpihakan itu memang perlu demikian juga aku menganggap dosenku ini sudah benar dalam pengaplikasian sastra. Tapi ia lupa bahwa hanya dengan berkata bahwa "ada yang salah" tak akan mengubah apa-apa kecuali dengan tindakan yang nyata. Dengan menyalahkan etnis Tiongkok padahal mereka juga WNI (bayar pajak pula) tidak akan serta merta membuat pedagang pentol kaki lima itu tiba-tiba punya stand di Ro**l Pl***, rumah di C**r*l***, atau mobil Mi** C****r. Ajaib banget! Kalau gitu besok aku teriak-teriak SARA aja gak usah kerja supaya jadi kaya. Tidak, tidak pernah dan tak akan terjadi seperti itu, cuk. Dengan mengatai S*ng*e* taek asu tak akan membuat tukang tambal ban tiba-tiba jadi dealer sepeda motor hon**. No, itu ngimpi, mereka basically, pribumi, bekerja sesuai dengan kapasitas mereka dalam menghasilkan uang. Sehari dapat 20.000 kalau mereka, si kaum proletariat ini bahagia ya mereka tak akan merasa ditindas. Sebaliknya kalau gaji sejuta seminggu tapi gak pandai memenej daun (duit asli) ya rasa-rasanya pasti seperti semangat ikutan demo.

Etnis yang Anda maksud pribumi sesunguhnya hanya mereka yang kebetulan dijajah meterial maupun mental oleh Kumpeni rasis Naudzubillah itu. Pribumi cuma belum mengenal konsep investasi dan bisnis itu saja sebetulnya masalahnya. Mereka, pribumi, well pada dasarnya saya juga sih, dididik bahwa tidak ada cara cepat menjadi kaya kecuali bekerja dan menabung. Padahal faktanya bekerja pada perusahaan tak akan menjadikan Anda kaya raya, lihatlah daftar orang terkaya di dunia! Bill Gates misalnya, apakah dia bekerja pada perusahaan? Nope dia membuat perusahaan dan sekarang apa kerjaannya? Cuma keliling dunia buat ternak nyamuk, menabung juga tidak akan membuat Anda kaya sebab inflasi pasti membunuh nilai mata uang Anda dari waktu ke waktu. Anda dan saya sama-sama mendapatkan didikan mentalitas jadi kacung itu sejak kecil. Maka tanyakan cita-cita ke bocah kecil hasil didikan pribumi maka semua akan menjawab serempak jadi polisi. Kita tidak dididik apa itu investasi, apa itu bisnis, apa itu monetisasi aset dan lain-lain. Yang kita tahu adalah sekolah yang pinter biar bisa gampang dapet kerja. Terus karena mentalitas yang salah dari awal kakek buyut tersebut, kita dengan gobloknya berteriak bahwa
"Kesialan kita ini gara-gara CINAAA!",
"Woo Singkek!",
"Lah singkek hoki pake fengsui, duitnya gak halal!", dan lain-lain. Pada dasarnya, kesialan Anda datang dari pikiran Anda sendiri.

Alam semesta cukup adil pada manusia seperti kita. Bermimpilah maka suatu saat akan terjadi. Setidaknya kalau bermimpi Anda bisa tahu rasanya berimajinasi naik private Jet, toh geratis pula. Pernah dengar ungkapan "Dimana ada matahari terbit, di situ pasti ada Orang Cina"? Yap, ungkapan ini saya dapat setelah menonton film Jacky Chan yang judulnya saya lupa. Ternyata memang benar adanya di belahan dunia manapun etnis Cina mendominasi perekoniman baik mikro pun makro. Ya mungkin karena negara mereka sudah sumpek dengan milyaran manusia maka mereka mencari peluang bisnis dengan merantau ke negeri orang. Kalau Anda muslim Anda pasti ingat kutipan "Carilah ilmu walau sampai Cina"? Ya, bangsa Cina memang punya sejarah peradaban yang maju dari dulu. Wong pas perang Mongol saja sudah bisa bikin tembok super panjang yang kata-katanya bisa terlihat jelas dari luar angkasa kok.

By the definition, kita, pribumi sudah kalah jauh tertinggal, harusnya dimana-mana itu kalau mau pinter ya kita belajar sama ahlinya biar bisa ketularan pinternya. Bukannya menjudge negatif mereka yang memang pinter dengan berharap suatu saat Anda bisa sesukses mereka. Menjudge memang mudah itulah sebabnya setiap orang melakukannya. Dari pada menjudge kenapa kita tak belajar saja dari mereka? Kita tiru mentalitas apa saja yang mereka punya, berteman dengan mereka, jadi aliansi mereka, berpikir seperti mereka. Kita hidup di negara bebes semi liberal, bung dimana ide-ide Anda dan saya bisa diwujudkan dengan bantuan MODAL DENGKUL. Anda bisa jadi kaya kalau Anda miskin. Anda bisa jadi lebih kaya kalau Anda sudah kaya. Masalahnya satu mau tidak Anda dan saya ini belajar dari si Cina bukannya malah cemburu dengan kesuksesan mereka? Mau tidak Anda dan saya belajar mengkapitalisasi usaha gorengan kaki lima kita supaya jadi gorengan terlezat sedunia? Mau tidak Anda dan saya berspekulasi dengan melakukan kredit besar untuk ide brilian yang ada di kepala kita? Kalau saya sih mau banget, udah bosan miskin, cuy. Anda?

Hujan

Hujan ☔
oleh: Henz

Apakah semua orang dewasa harus membenci hujan? Mungkin iya. Aku masih ingat ketika dulu saat aku masih kecil, masih ingusan, masih nyusu kadang-kadang, biji pelir seukuran kelereng, aku begitu menyukai hujan. Aku akan keluar rumah begitu cuaca mulai mendung, kilat mulai menyambar, serta guntur mulai menggelegar. Semua itu bagai satu set alarm penanda bagiku untuk bersiap-siap hujan-hujan. Aku tak peduli lagi sekalipun di larang bapak dan ibu. Kalau aku ketahuan hendak ke luar rumah, bapak akan memelukku erat, menggendongku ke kamar untuk memaksaku ikut lomba cepet-cepetan tidur melawannya. Kalau tidak, ya selamat menikmati hujan-hujan walau setelahnya pasti diomeli habis-habisan.

Hujan seperti sumber kebahagian bagiku (dulu), ia bagaikan teman bermain terbaik sedunia. Melakukan permainan apapun di luar rumah saat hujan sungguh merupakan nikmat luar biasa yang pernah kualami sebelum mengenal ejakulasi. Walaupun sendirian berlarian kesana kemari, aku selalu bahagia saat hujan turun. Kata orang anak kecil itu masih polos, belum punya dosa, belum sombong, belum tahu bahasa verbal retoris munafik ala politisi partai pengumbar janji-janji, maka mereka, anak-anak kecil berbicara menggunaan bahasa alam yaitu perpaduan firasat, insting, dan imajinasi, tanpa dibatasi oleh kotak berbentuk alat kelamin pria bernama logika. Mereka adalah representasi dari kebahagian tanaman-tanaman yang rindu tetesan air hujan setelah berpuasa berbulan-bulan di musim kemarau. Mereka laksana ekspresi spontanitas alam yang tertuang melalu kanvas kosong yang belum terkontaminasi cat-cat produksi pabrik.

Sebetulnya tiap kali hujan turun musuh yang kemungkinan akan kuhadapi tak hanya bapak tetapi juga ibu. Aku sebisa mungkin akan meluputkan diri dari pengawasan wanita tua super cerewet itu. Ibu tak akan dengan mudahnya mengizinkan aku main hujan-hujan. Beliau akan melapor bapak ketika aku punya gelagat mencuri-curi kesempatan kabur. Kebencian ibu pada hujan bukanlah tanpa alasan. Sebab suatu hari aku pernah sakit demam. Ibu memfitnah hujan dengan kejamnya hanya karena beliau melihatku sore harinya bermain dengan teman bermain terbaik seduniaku itu. Padahal ia tak salah apa-apa kecuali membuatku bahagia.
Seperti kebanyakan orang tua lainnya, Bapak atau ibu cenderung mengutuk hujan dengan penuh kebencian. Wajarlah sebab orang tua umumnya menganggap, hujanlah si biang kerong penyebab jemuran ibu-ibu tak bisa kering dalam sehari, hujanlah yang membuat acara arisan sembako di rumah pak RT jam 5 sore jadi molor berjam-jam hingga bada isya, hujan pulalah yang membuat segala kegiatan penting dengan mudahnya terabaikan seperti pengajian di rumah kami yang cuma dihadiri tidak sampai separuh tamu undangan. Ini bisa dimaklumi sebab orang kampungku jarang yang punya mobil, jadi kalau kemana-mana kudu naik sepeda atau motor. Sesunguhnya baik naik mobil atau naik motor kalau kita pandai-pandai bersyukur ada enaknya juga. Enaknya naik mobil jelas, adalah kalau hujan gak kehujanan, kalau panas gak kepanasan. Sementara enaknya naik motor adalah kalau panas gak kehujanan, kalau hujan gak kepanasan.
Sekarang aku mulai dewasa, setidaknya begitulah anggapan orang-orang terhadapku hanya karena aku sudah lulus dari SMA, pernah ikut tawuran walau kalah, mulai berjembut walau tak terlalu lebat. Padahal mereka tak tahu saja kalau aku masih suka main gundu, mbolang bersama-sama keponakanku dan teman-temanya yang masih SD, atau menonton kartun anak-anak seperti boboiboy, upin-ipin dan keluarga Somat. Kedewasaan yang kualami secara mentalitas adalah salah satunya mulai membenci teman terbaik seduniaku. Ya aku belakangan mulai sadar bahwa hujan yang tidak pada waktunya memang terasa merugikan. Kalau boleh jujur sebetulnya hujan tak salah apa-apa. Aku saja yang mengambing hitamkan hujan untuk menutupi kemalasanku pergi kuliah, pergi jumatan, pergi kondangan, atau pergi-pergi lainnya yang mengharuskanku angkat kaki dari rumah. Seolah-olah kalau hujan turun kegiatan seurgent apapun jadi terasa logis untuk dibatalkan.
"Sori, bro gak bisa di sini hujannya deres banget eg!"
"Ga iso teko, bro! Ono udan!"
"Oke berangkat! Kalau gak hujan tapi."

Kebencian terhadap hujan ini mayoritas dialami oleh orang dewasa pendosa sok suci hobi onani pemakan tahi penjilat babi ngentot aki-nini korupsi. Mereka menulis berita hujan deras mengakibatkan puluhan rumah warga tergenang air setinggi satu meter. Lagi-lagi mengambing hitamkan hujan atas ketidabecusan menangani banjir. Padahal kalau kita telaah banjir itu tak sepenuhnya salah hujan. Banjir bisa jadi disebabkan oleh perbuatan orang dewasa yang membuang sampah di kali, menebang pohon di hutan jati, membuat pemukiman kumuh pinggir kali, atau reklamasi berkedok revitalisasi yang katanya demi NKRI padahal buat kantong sendiri. Tapi mereka, si kampret-kampret tua bangka ini tak sadar juga rupanya, masih congkaknya bilang itu semua takdir Illahi. Ya Tuhanku berilah aku ekstasi. Hobi kok munapik.

Aku takut pada suatu saat nanti aku menua juga. Pikiran jadi tumpul, kolot, dan mau menang sendiri. Menyalahkan faktor luar padahal masalah utama datang dari sendiri. You are what stop you! Mungki para orang dewasa ini mulai benar setidaknya MERASA benar karena sudah tidak pernah lagi dimarahi oleh bapak ibu mereka. Rata-rata mereka sudah yatim piatu. Apapun yang mereka lakukan adalah benar selalu benar sebab tak ada lagi orang yang memukul kepala mereka seraya bilang;

"Heh, tidur sana besok kan kamu harus berangkat kerja pagi, nak"
"Nak, jangan hujan-hujan nanti sakit!"
"Nak, kamu ini nyapu kok selalu ndak bersih to?"

Kesotoy-an yang kubenci dari orang-orang dewasa itu bukan soal siapa benar salah. Toh kebenaran juga tak selalu bernilai absolut. Tapi ketidak-jujuran merekalah yang membuatku muak. Tiada integritas terucap dari mulut mereka. Mereka tak setulus saat mereka masih polos-polosnya sebagai manusia. Jika A bilang saja A, jika B bilang saja B, bukannya A, B, C yang penting oke. Mereka salih kelihatannya tapi korupsi juga, mereka jujur kelihatannya tapi nipu juga, mereka sederhana kelihatannya tapi nyuci duit juga. Walaupun harus digaris bawahi juga bahwa tak semua orang dewasa demikian. Aku sendiri juga mengalami fase itu. Menukar  kemunafikan demi beberapa impian. Aku juga dewasa dan menyebalkan. Tapi aku selalu berharap bahwa kebencianku pada hujan bisa segara hilang. Tapi siapa tahu kelak aku jadi anggota DPRD memanipulasi pemenang tender proyek dan minta seluruh anggota keluargaku diberangkatkan umroh? Aku juga berpotensi jadi bajingan.
Hujan, di Sidoarjo,

Saturday, November 25, 2017

Sok Marxist

Sok Marxist. oleh: Henz

Aldo tidak mandi lagi. Kebetulan pagi itu ada kuliah pagi. Semalam ia habis mabuk-mabukkan setelah acara makrab di kampus. Aku dibujuknya meminum oplosan itu. Ia berujar kalau minum arak akan menambah kedewasaan seseorang. Tapi sayangnya ia gagal. Aku masih enggan meneguk air surga itu walaupun sudah diiming-imingi dengan hadiah traktir makan di kantin. Meskipun ia agak kesal dengan memaki-makiku, namun tak lama berselang ia kembali tertawa-tawa tak jelas sambil sesekali memelukku. Aneh dan lucu juga ya orang mabuk itu.
Aku sengaja menginap di kost Aldo karena pesta miras itu baru berakhir jam 2 pagi. Agak menakutkan bagiku pulang di jam-jam tersebut mengingat saat itu begal masih ngehits di seputaran Surabaya. Dari pada mati konyol dibegal, lebih baik mati di pelukanmu. Abaikan.
Esok paginya, aku sudah mandi. Aku tak berani membangunkan Aldo yang masih tertidur pulas tapi aku jahat juga kalau harus membiarkannya tak kuliah pagi itu. Kebetulan Aldo tidur di lantai beralaskan matras jadi ku goyangkan saja badannya dengan kakiku agar ia bangun.
"Jam berapa?" Tanyanya sambil ngulet khas orang yang baru bangun tidur.
"Kuliah, bro!" Kataku santai.
"Ayo!" Katanya penuh semangat seraya bangkit dari rebahnya.
Dengan bekas liur yang masih membekas pada salah satu pipinya, mata memerah karena kurang tidur, nafas masih bau miras serta rambut gondong acak-acakannya, ia masih begitu semangatnya untuk mengikuti perkuliahan pagi sebab kuliah saat itu akan membahas teori sastra marxisme.
"Gak mandi dulu, Do?" Tanyaku.
"Nanti telat. Cuci muka aja." Jawabnya buru-buru ke kamar mandi.
Begitulah Aldo yang kukenal. Ia jalani hidupnya sebebas-bebasnya, sesuka-sukanya, tanpa peduli apa kata orang tentang dirinya. Kamar kostnya dipenuhi buku-buku berhalauan kiri. Marx, Lennin, Mao, Che, Engels, dan sebagainya berserakan di lantai. Entah karena ia baca atau dibuatnya menjadi bantal tidur aku tak tahu. Buku-buku itu pernah sebagian dipinjamkannya padaku. Awalnya aku tak suka membaca buku beraliran kiri namun karena Aldo memaksa akhirnya aku membacanya juga walaupun tak sampai selesai. Ia memimpikan kesamarataan ada di Indonesia. Ia mengutuk bos pabrik besar yang menurutnya Kapitalis itu sebagai biang kerok melaratnya kita sebagai bangsa.
"Bud, kamu tahu? Suatu saat sistem kapitalis di Indonesia ini akan bobrok dan digantikan oleh komunisme." Katanya berapi-api.
"Maksudnya?" Tanyaku kebingungan tak mengerti apa maksud perkataan Aldo.
Kesamarataan yang bagaimana aku juga tak paham maksud dari Aldo ini. Maka aku tanya lagi.
"Kenapa komunis, Mad?"
"Karena komunis itu setara, sama-rata, tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin." Jelasnya.
"Setara gimana? La nanti kalau gaji pegawai gimana? Masa bos yang notabene tanggung jawabnya besar gajinya sama dengan buruh lapangan?" Protesku.
"Makanya pakai sistem koperasi, goblok!" Katanya agak emosi.
"Oke pake sistem koperasi. Tapi itukan ranahnya kecil jadi gampang ngatur gajinya. Lha terus kalau ranahnya negara distribusi uang atau gajinya gimana supaya semua sama banyaknya? Kalau gitu orang-orang jadi males dong nggak kreatif karena berusaha sekeras apapun gaji mereka tetap sama seperti yang nganggur." Aku membantahnya.
"Itu yang belum terpikirkan, su! Aku harus banyak baca lagi tapi yang jelas kalau kapitalisme sudah semena-mena sudah saatnya buruh mengambil alih alat produksi." Katanya berapi-api.
Aldo memang dalam tahap menentang para kapitalis. Ia suka sekali turun ke jalan (ikut demo) sampai-sampai Ia berujar padaku bahwa ia lebih bangga mati di jalan dari pada di kasur. Maka saat ia memboncengku di jalan aku sengaja memukuli kepalanya.
"Kenapa, su? Kok pukul-pukul?"
"Biar kamu mati di jalan, Do!"
Benar-benar pemikirian ekstrimis dari mahasiswa yang terhegemoni oleh paham komunis.
Beberapa kali ia mengajakku demo tapi mengajakku demo, agendanya haruslah jelas karena kalau tak jelas dan dibayar nasi kotak pasti aku tak ikut. Aku khawatir demo yang dibayar nasi kotak itu merupakan kepentingan elit partai politik. Bukannya mencurigai parpol, tapi bagiku partai politik tak ubahnya cuma alat produksi yang digunakan untuk memperkaya diri dengan embel-embel kesejahteraan rakyat. Pas kampanye koar-koarnya demi rakyat padahal kalau sudah jadi dpr atau kepala daerah, mereka korupsi duitnya dipakai bangun rumah, berangkat umroh dan beli mobil baru. Itupun pas ketangkep kpk masih bisa senyum sambil bilang.
"Insyallah ini semua cuma fitnah. Kekayaan saya nggak seperti tuduhan KPK."
Ya iyalah pak wong sampean pinter money laundry kok. Supir bapak uang di rekeningnya berapa? Istri? Pembantu? Saudara jauh? Sepintar-pintar bangkai disembunyikan pasti baunya tercium juga.
"Becik ketitik olo ketoro lan ciloko, pak!" Kataku pada salah seorang anggota DPRD yang sengaja membenturkan kepalanya sendiri ke tiang listrik depan rumahku berkali-kali agar tidak diinterogasi KPK.
"Becik ketitik olo ora opo-opo." Jawabanya cengengesan sambil tetap menyunduli tiang listrik depan rumahku.
Amad memproklaim dirinya adalah orang merdeka. Merdeka artinya bebas. Salah satunya bebas dari dogma agama. Ia sebetulnya muslim setidaknya di ktpnya tertulis demikian. Hanya karena ia malas sholat, dan terhipnotis perkataan Karl Marx bahwa agama adalah candu, dengan pedenya ia berkata bahwa;
"Aku adalah seorang atheist!"
"Iya, aku percaya, Do! Tapi atheist macam apa yang kalau lewat kuburan masih takut pocong?" Sindirku.
Ia hanya terdiam dan tak menjawab pertanyaanku.
"Atheist yang goyah imannya? Haha. Udah sholat aja, Do!" Aku meledek Aldo.
"No! Aku tetap bisa bermoral tanpa dogma agama!" Katanya tegas.
"Terserah wis." Jawabku acuh.
Orang yang belum kenal dekat pasti menganggap Aldo tak ubahnya mahasiswa frustasi yang kesulitan belajar namun menutupi ketidakmampuan akademisnya dengan ikut kegiatan sosialis binti marxis. Aku tak menyalahkan cara hidupnya sih, toh orang seperti Aldolah yang justru membawa perubahan. Di saat semua mahasiswa rajin-rajinnya kuliah agar bisa lulus tepat waktu, Aldo justru memilih ikut demo hari buruh dan membolos kuliah demi ikut bersuara terhadap ketidak adilan yang dialami buruh. Di saat mahasiswa lain ketakutan tidak lulus mata kuliah tertentu, Aldo justru cuek dan lebih memilih mengikuti diskusi sastra aliran kiri. Di saat beberapa dosen yang tak tahu apa-apa tentang Aldo melabeli Aldo tak ubahnya sebagai sampah universitas pembuat akreditasi turun, ia tak peduli ia tetap akan berdemo.
Aldo hidup dengan jalan hidupnya sendiri. Ia berpandangan bahwa Marxisme adalah penawar luka bangsa Indonesia. Maka saat wacana pemutaran film g30s pki serentak garapan era Soeharto ia langsung murka. Ia tak setuju karena film itu tidak sesuai fakta dan hanya digunakan sebagai propaganda demi melanggengkan kekuasaan Soeharto. Moodnya langsung berubah ketika ia bertemu denganku. Ia mengungkapkan ekspresi kekecewaannya padaku padahal aku tak salah apa-apa.
"Goblok itu goblok! Wong jelas beberapa tahun pas era Harto lengser la kok sekarang di puter lagi."
"Aku salah apa to, Do."
"Pokoke Goblok!"
Meski begitu Aldo adalah kawanku. Ia adalah orang pertama yang membenciku gara-gara aku mempunyai mimpi jadi pengusaha sukses seperti etnis Tiongkok. Ia adalah seseorang yang disebut BAJINGAN oleh masyarakat umum yang belum mengenalnya lebih jauh. Namun jauh di dalam sana, ia tidak munafik. Ia bilang padaku bahwa ia adalah setan. Banyak pelanggaran norma yang dilakukannya seperti minum miras, seks dengan banyak perempuan, ikutan demo dan masih banyak lagi.
"Semua sudah pernah kulakukan, Bud kecuali satu membunuh orang." Katanya dengan nada seram.
Ia sering membujukku untuk minum miras dengan iming-iming traktir makan, ia bahkan pernah akan memberiku uang untuk menyewa wanita tuna susila demi menanggalkan keperjakaanku, ia pernah memaksaku bolos kuliah hanya untuk berpanas-panaskan ikut demo. Tapi sama seperti Aldo aku juga orang merdeka. Aku bebas menentukan jalanku sendiri. Aku bebas menentang Aldo bila aku tak setuju dengan pendapatnya. Aku merdeka dengan pandangan individualisme dimana aku harus menjadi aku. Kami seperti minyak dan air dalam hal ideologi tapi kami bagai kepompong dalam persahabatan.

Friday, November 24, 2017

A Small Talk With A White Girl

A Small Talk With A White Girl.
by: Henz

A few months ago I went to a beach not far from my hometown. I was with my friend, Ditc. I rode my motorcycle with him through the climb, the derivative, the bend, to get to the location of the beach. It took two hours for us to reach the beach. The beach was named Watu Karung (Rocks and Sacks). I do not know why the locals call it that way. All I know is that that beach was a beautiful place that I have ever visited where hundred of people were going surfing.

Unfortunately, I arrived at 12 noon when the sun was so hot. Instead of enjoying the beach, Ditc and I chose to buy some beverages made of coconuts that people call Degan. Strong winds hit the beach. It was causing huge waves that occasionally hit the shore so hard. The sound of the waves was so freaking loud. I had to turn my volume up when I spoke to Ditc. The surfers were showing up their amazing skills although the waves was about three feet high. Most of them are white guys by the way.

Ditc invited me to rent two surfboards for thirty thousand rupiah but I said no because I've never stood on that weird board before. I was just afraid to drown when the huge waves were coming.

Watu Karung Beach was being visited by many tourists both local and international then. Their activities included swimming, walking, surfing, sunbathing, taking pictures, and sleeping on the sand. Ditc's and my activity there was doing nothing but drinking Degan. That's not cool at all when I saw so many foreign tourists on the beach and I chose to do nothing. Instead why don't I say hello to them? I looked around if there was a girl I could talk to. My eyes fixed on a white girl with blond hair. She was seen sitting on the sand alone. Occasionally she took some pictures with her long lens camera she hold. I tried to approach her and I thought she looked like the same age as me. I smiled and she also smiled.

"It would be nice to see this beautiful scene and you can capture it with your camera." I said.
"Yeah, I like this beach." She said a short answer with an accent I have never heard of.
"Can I sit next to you?"
"Sure!"
"It was the first time for me to hear your accent. Where you from?"
"French, and you? Let me guess, America?" She asked me with a sweet smile on her face.
"Do my accents sound like an American?"
"Haha Yeah, I know some friends from America, I know that." For the first time this blonde girl laughed at my unfunny joke.
"To be honest, I'm from here, Indonesia." I said and she looked little bit surprised.
"Cool, I'm Natalia." She said, holding out her hand.
"Budi." We shook hands finally.
"What do you do, Budi?"
"I'm a college student.You?"
"Noway. You look more like a junior high school student though. I'm a photographer."
"A photographer? Cool! Asian men will never be old, with who you be here?"
"My boyfriend, that's him!" She pointed toward a white man surfing.
"Before we split up, may I take a picture with you?"
"Why not?"
I asked a man who happened to pass by to photograph Natalia and me.
"Can I upload this photo to instagram?"
"I do not care."

Basically, I love to meet white girls or at least girls who are open-minded. Every white girl that I've met is so open to strangers, I never got rejected. And also I'm more comfortable with english. Many expressions that I can express through English rather than Indonesian. White girls or white guys? Does it sound like extremely racist and full of objectivity though? I do not really care. I like them because they are open-minded that's it and that's all. Yeah white girls! Someday I wish I had a romantic relationship with one of them though. But who knows?

Mari Bicara Apa Cinta itu Sesungguhnya!

Oleh: Henz

Beberapa tahun lalu aku pernah suka pada seorang gadis bernama Sara (bukan nama sebenarnya). Dia adalah temanku satu smp lalu kemudian berlanjut hingga sma. Kami belum pernah satu kelas tapi kami pernah satu regu saat kegiatan pramuka. Biarpun beda kelas tapi kami sesekali sering bertemu di kantin saat jam istirahat. Sara ini gadis supel, baik, cantik, dan dia kharismatik, anak pramuka sejati yang ikutan saka bayangkara juga. Ialah yang bisa membuatku berani bermimpi besar dengan menunjukan padaku bahwa;
"Kamu bisa, Budi! Kamu bisa jadi pengusa sukses. Aku yakin." Katanya saat membeli beberapa keripik singkong yang kujual di kelas.
Harap diingat! Perasaan sukaku pada Sara sangat beda dengan perasaan nafsu saat nonton film bokep. Aku tak bisa menjelaskannya dengan kata-kata tapi yang jelas aku merasa ingin selalu dekat dengannya. Saat makan di kantin, aku sengaja memilih tempat duduk yang berdekatan dengannya atau saat bertemu Sara, dengan pedenya aku memberi senyuman tulus sepenuh hati yang kadang dibalasnya dengan ejekan juluran lidah sepersikian detik. Bahkan ada momen selama setengah tahun ia dekat dengan kakak kelas pun, aku masih tetap saja bahagia. Ketika bertemu dengan Sara yang sudah berpacar pun, tidak ada rasa sakit yang kurasakan. Iyalah? Aku siapanya? Melihatnya berboncengan mesra bersama Adi kakak tingkat yang modis dan ganteng (bukan nama asli) bagiku bukan persoalan besar. Kenapa harus sakit hati toh tiap kali aku ajak bercanda Sara masih saja bisa ketawa-ketawa mendengar cerita bodohku.

Aku memang tak bisa mengikatnya dengan status pacaran tapi aku bisa terus-terusan mendapatkan senyumnya sampai sekarang sampai detik ini setidaknya sampai tulisan ini dimuat. Toh aku masih lebih beruntung dari Adi karena setelah mengumbar kemesraan selama lima bulan mereka putus juga dan tak lagi saling sapa setelahnya.

Sebodoh-bodohnya Sara pasti tahu kalau aku mencintainya dengan tulus. Yah betul aku tulus tak mengharapkan apapun asal ada senyumannya sekali saja dalam sehari  bagiku efek bahagianya bisa berhari-hari. Aku juga tak pernah memasakkan diri sendiri agar aku bisa menarik perhatiannya. Aku cukup jadi diri sendiri tanpa ada rasa malu. Aku tak perlu pura-pura baik di depannya. Kalau aku sedang malas aku tak akan sudi mengantarnya ke gramedia walaupun ia memohon. Sebaliknya kalau aku sedang bergairah diajak apa aja aku hayo, seperti bulan lalu ia memintaku menemaninya berpanas-panasan ikut audisi Indones**** Id** di Surabaya.

Aku mencintainya dengan caraku sendiri yang sederhana, kadang terlihat begitu kecil, bahkan kadang tak terlihat, namun itulah ketulusan yang bisa kutawarkan. Jika ia mau suka ya silakan, jika gak suka ya gak apa-apa. Aku tak perlu membuat Sara selalu terkesan dengan jadi pria terbaik untuknya toh ia menginjinkanku untuk masuk ke dalam duniaku sendiri dimana tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Justru kalau aku memaksa untuk mengejarnya dan mendapatkannya aku takut getaran cinta itu akan padam seperti mantan-mantannya yang sekarang bertransformasi jadi musuhnya. Aku hanya ingin menikmati cinta darinya itu saja.

Berkat Sara, tubuhku seperti dialiri oleh energi bahagia yang meluap-meluap. Aku jadi tak gampang sakit, pikiran selalu positif, aku memangkas kemustahilan menjadi posibikitas, akibatnya aku jadi super kreatif. Ada energi kebahagiaan dalam setiap hal yang aku lakukan. Energi itu memberikan aku inspirasi untuk terus bergerak maju. Beberapa lagu telah aku buat, puisi, essay, drama dan beberapa bisnis telah kukerjakan meski masih gagal karena musabab keterbatasan waktu dan kapital. Ini semua berkat Sara seorang.

Kalau aku butuh cintanya lagi karena kehabisan semangat sebab menjalani hari yang lelah selepas kuliah, aku cukup meneleponnya, kalau tidak diangkat tak apa apa, kalau aku whatapp atau line dan tak dibalas juga tak apa apa, kalau terlalu kangen aku tinggal mengajaknya jalan, kalau ditolak karena dia sibuk, tak apa, minggu depan coba lagi. Sesimple itulah arti kata "mencintai" bagiku. Aku tak berusaha sekalipun berjanji bahwa hubungan ini bisa berlanjut ke tahap yang menurut masyarakat "serius". Serius seperti apa ya? Padahal sesakral apapun ikatan juga tak menjamin cinta akan bertahan selamanya.

Aku sadar aku terjebak dalam dunia yang mereka bilang friendzone tapi apakah menjadi friend akan kehilangan cinta Sara? Nope dan aku rasa tidak. Aku tetap mendapat percikan cintanya ketika secara tak sengaja ia membenarkan rambutku yang acak-acakan, saat ia kubuat bingung ketika bertanya padaku beberapa materi bahasa inggris lewat voice note, atau saat ia menyentuh bahuku hanya untuk bilang bahwa Bayu pacarnya sekarang jahat dengan mata berkaca-kaca.

Aku puas menikmati momen kebersamaan kami saat itu juga, pada detik itu. Aku tidak merasa khawatir akan hari esok dengan bertanya-tanya masihkah Sara akan mencintaiku. Ini lah yang kumaksud cinta, aku tak merasa rugi sedikitpun ketika  ia hanya menganggapku sebagai temannya. Aku tak merasa pemberian hadiahku saat valentine dulu adalah pengorbanan, aku memberinya karena aku hanya sedang ingin memberinya. Aku rela mendengar curhatannya berjam-jam tentang banyak hal karena aku hanya sedang ingin mendengar suara paraunya, aku rela mentraktirnya maksakan jepang di restoran agak mahal karena aku kebetulan gajian dan ingin ke sana. Kalau aku sedang tak ingin, maka aku akan bilang tidak sekalipun Sara memaksa. Aku tahu batasan-batasan mencintai bagiku yang tak bisa kulewati seperti apa. Itulah definisi mencintai menurutku. Kebanyakan dari kita memberikan "CINTA" sesuatu yang sulit kita penuhi, akibatnya bila "CINTA" tak membalasnya dengan "CINTA", kita sedih, kecewa, marah karena merasa sudah banyak berkorban. Saya tanya apakah kalau Anda menunjukkan emosi negatif seperti marah, sedih, kecewa itu Anda sedang jatuh cinta? Anda sendiri yang jawab. But yang saya tahu adalah fakta bahwa; I LOVE YOU SARA.

Mancing Perkara

Pagi itu Rizky keponakanku yang masih smp datang ke rumahku dengan membawa peralatan pancing lengkap. Ia mengajakku mancing di waduk yang jaraknya lumayan jauh. Awalnya aku menolak ajakkan Rizky karena memang pagi itu aku sedang malas-malasnya dan lebih memilih nonton doraemon.
"Ayo to, mas-mas!" Ia memohon.
Aku hanya terdiam dan melihatnya dengan tatapan underestimate khas seorang pemuda 22 tahun pada anak smp kecil yang paling-paling belum berjembut.
"Cacinge?" Tanyaku.
"Wes, ini lo!" Jawabnya sambil mengulurkan gelas aqua plastik yang dipenuhi gumpalan cacing tanah tepat di depan mukaku.
"Heh, jangan, Riz nanti kotor!"
"Gak ngurus! Sing penting ayo mancing!"
"Bentar tunggu doraemon selesai!"
"Alah-alaah.. Wes gede tapi masih nonton doraemon."
"Biar, dari pada kecil-kecil tapi nontone bokep! Haha"
"Tenan ya! Habis doraemon langsung berangkat! Kalau gak cacinge mau tak buang di lantai tak serak-serakin!" Kata Rizky dengan  nada mengancam.
Duh anak yang baru lulus SD kemarin berani-beraninya mengancam pamannya sendiri yang sudah mahir makan asam garam kehidupan fana?
"Serak-serakin aja tak bilangin bu dhe!" Aku juga mengancam.
"Ayo to mas mas!" Katanya kembali memelas.
"Ayo kemana?" Tanyaku pura-pura lupa sengaja supaya ia tambah mangkel.
"Mancing to. Mesti lo!" Katanya dengan raut muka kecewa teramat sangat.
Karena melihat Rizky yang sudah bawa-bawa tas, pancing, ember keramba, dan cacing,layaknya pramuka yang mau camping, aku jadi tak tega juga. Padahal lusa kemarin aku cuma iseng bilang oklek padanya agar dia berhenti mengoceh soal mancing ikan di depanku. Aku tak menyangka bahwa ia begitu bersungguh-sungguh akan pergi mancing. Naluri kebapakan pun muncul. Lagi pula paman macam apa di dunia ini yang tega menolak permintaan keponakannya sendiri, paman sepertiku? Tidak, Riz! Aku pasti akan menyelesaikan nonton doraemon dulu baru kemudian sarapan.

"Lah, mau kemana to? Katanya habis doraemon berangkat mancing?" Katanya dengan nada kecewa dengan kaki yang di injak-injakkan di lantai setelah tahu aku ngacir ke dapur saat lagu ending doraemon diputar.
"Sarapan dulu, bos!" Jawabku singkat.
"Lah lah. Nanti tambah panas." Kata Rizky yang mungkin mulai hopeless.
Setelah membuat Rizky sesaat dalam ketidak pastian, akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan ajakan mancingnya. Lagi pula aku tak modal apa-apa, pancing disediakannya, air minum disediakannya, uang bensin disediakannya, cacing disediakannya, bahkan kemungkinan bila aku minta pelacur maka pasti disedia ah hiperbolik. Aku cukup modal dengkulku yang kopong. Mungkin kegiatanku di waduk cuma tiduran di gazebo, main angry birds sambil menunggunya berpanas-panasan mancing di tepian waduk. Sementara kalau dapat ikan toh aku minta juga pasti dikasih oleh Rizky. Aku mengeksploitasi keponakan sendiri? Tidak ini cuma cara mendidik anak agar manut sama orang tua.

Menurutku memancing di waduk di daerahku adalah kegiatan yang tak bermanfaat yang sering dilakukan pria selain masturbasi tentunya. Bagaimana tidak mudarat coba, Anda duduk berjam-jam di bawah terik matahari menunggu umpan Anda disambar ikan. Syukur-syukur kalau ada yang nyambar, kalau tidak? Badan jadi hitam terbakar matahari, badan bentol-bentol digigit nyamuk hutan, sementara ikan tak kujung didapat, belum lagi kalau senar nyangkut di batu karang di dasar waduk, ya mau gak mau kudu nyebur terus nyelam ke dasar waduh, basah kuyup? Udah pasti, atau kalau merasa kaya ya tinggal potong senar pasang timbel sama mata pancing baru. Jangan harap mancing di waduk di daerahku bisa seperti manc*** man** di tr*n** ya! Bisa strike sampai ngeden-ngeden karena disamber ikan gedhe adalah hil yang mustahal aka cuma rekaya tim kreatif di tv, namanya aja telLIEvision. Walaupun pernah di datangi tim manc*** man**, kenyataan mirisnya adalah tim manc*** man** sebelumya sudah membawa ikan sendiri dari rumah, Jadi mereka membuat delusi seolah-olah ikan gurame segedhe bantal itu merupakan spesies asli waduk daerahku padahal mereka beli kiloan di pasar ikan. Faktanya dari pertama kali aku mancing di waduk pas kelas 1 sd hingga aku berusia matang dan siap malalui proses pemijahan seperti sekarang ini tak pernah tuh sekalipun aku mancing sampe sebegitu ngedennya karena umpanku disambar gurame segedhe anakan kingkong? Satu-satunya hal yang membuatku ngeden saat mancing di waduk adalah karena kebelet berak pas lagi asyiknya mancing, karena hajat baik tak boleh ditunda maka aku berak saja di waduk dan membiarkan tinjaku mengambang layaknya kapal titanik beornamen kuning emas agak kecokelatan. Kubiarkan ia memengaruhi luasnya samudra perwadukan. Saat perilisan titanik taiku itupun aku tak ngeden-ngeden amat karena tiap pagi aku rutin minum Veget**. Namun yang membuatku sedikit khawatir adalah ada banyak sekali cethul-cethul (anakan ikan) yang menyunduli titanik taiku kesana kemari membuat pergerakan kapal kuning berbentuk silinder sepancang 25cm itu tidak stabil di atas permukaan air waduk. Simplifikasinya anakan ikan itu doyan sama taiku. Tai orang dimakan ikan, ikan yang makan tai orang dimakan orang, orang makan tainya sendiri. Sungguh hukum karma memang berlaku adanya.

Kembali ke momen dimana Rizky sedang mancing. Sudah sejam rupanya keponakan tercintaku itu berpanas-panasan di bawah teriknya matahari siang. Aku penasaran sudah berapa banyak ikan yang berhasil diperolehnya. Iseng-iseng aku menghampirinya dengan gelagat yang tentunya meremehkan. Nampak ia mulai terasa terganggu dengan kehadiranku yang tiba-tiba mematung. Ia pikir aku akan melontarkan kalimat hinaan padanya padahal memang demikian tujuanku. Hahaha.
"Dapet berapa?" Tanyaku bernada penuh underestimate.
"Itu." Jawabnya tanpa menoleh kearahku, ditunjuknya ember yang berisi enam ekor ikan nila seukuran telapak tangan bayi.
"Cuma ini to? La kok kecil-kecil semuanya? Lah gak pecus mancing kamu, Riz!" Tanyaku penuh justifikasi.
"Omong ae! Cerewet!" Katanya cuek namun aku tahu ia sebetulnya agak dongkol.
"Gak bakal dapet banyak, Riz we to. Ayo pulang!" Ajakku dengan maksud membuat mentalnya ciut.
"Gak mau!" Katanya kekeh.
"Yo udah. Aku minta airmu kalau gitu."
Ia tak menjawab permohonanku karena mungkin masih kesal, setiap ngomong selalu aku mentahkan, aku pun cukup mengambil botol Pooccari Sweat berisi air putih dan meminumnya.

Kalau dari segi ekonomi mancing jelas merugikan. Coba bayangkan kalau Anda kerja jadi kuli lepas saja di sawah setengah hari dibayar 50.000 dapat makan pagi dan cemilan siang pula. Duit 50.000 bisa anda belikan lele sekilo harga 20.000. Bayangkan jika Anda mancing di waduk, belum juga dapat ikan Anda akan dimintai uang 10.000 oleh penjaganya. Kalau untung ya syukur dapet beberapa ikan nila cebol yang demi Tuhan banyak sekali durinya itupun Anda mancing dari pagi sampe sore belum tentu dapet sekilo. Tapi gobloknya kenapa masih saja banyak anak-anak dan bapak-bapak mancing di area waduk. Untuk merasakan strike? Well strike apanya? Wong ikannya cuma nila segede telapak tangan balita kok. Jangankan strike, antara umpan disambar dan tidak saja tak ada bedanya, ya karena memang ikan sekecil itu tak sanggup membawa timbel kesana-kemari dengan mulut mungilnya. Setelah kutanya salah satu dari bapak-bapak paruh baya itu meereka mancing lebih karena hobi bukan hasil. Katanya buat rekreasi. Tak salah juga sih kalau tujuannya memang buat rekreasi asal tidak dijadikan pelarian karena malas bekerja saja. Ngomongin mancing sama halnya seperti kredit sepeda motor atau mobil, secara ekonomi jelas rugi karena ada bunganya dari pada beli tunai. Tapi toh banyak orang yang tak peduli dengan bunga yang penting bisa jalan-jalan dulu, uang masalah belakang. Rasa senang, itu dia jawabanya. Kenapa orang rela bayar mahal demi teket konser ColdPlay padahal dengerin di radio juga bisa gratis pula? Kenapa orang rela beli iPhone padahal harganya tak sesuai dompet mereka padahal mereka bisa beli android yang spesifikasinya lebih bagus dari iPhone dengan harga jauh lebih murah? Kenapa orang rela berpanas-panasan memancing seharian di waduk demi enam biji ikan nila padahal mereka bisa beli nila ukuran besar di pasar dengan cara yang lebih manusiawi aka tidak soro-soroan? Jawaban simple mungkin Anda juga sudah tahu.