Hujan ☔
oleh: Henz
Apakah semua orang dewasa harus membenci hujan? Mungkin iya. Aku masih ingat ketika dulu saat aku masih kecil, masih ingusan, masih nyusu kadang-kadang, biji pelir seukuran kelereng, aku begitu menyukai hujan. Aku akan keluar rumah begitu cuaca mulai mendung, kilat mulai menyambar, serta guntur mulai menggelegar. Semua itu bagai satu set alarm penanda bagiku untuk bersiap-siap hujan-hujan. Aku tak peduli lagi sekalipun di larang bapak dan ibu. Kalau aku ketahuan hendak ke luar rumah, bapak akan memelukku erat, menggendongku ke kamar untuk memaksaku ikut lomba cepet-cepetan tidur melawannya. Kalau tidak, ya selamat menikmati hujan-hujan walau setelahnya pasti diomeli habis-habisan.
Hujan seperti sumber kebahagian bagiku (dulu), ia bagaikan teman bermain terbaik sedunia. Melakukan permainan apapun di luar rumah saat hujan sungguh merupakan nikmat luar biasa yang pernah kualami sebelum mengenal ejakulasi. Walaupun sendirian berlarian kesana kemari, aku selalu bahagia saat hujan turun. Kata orang anak kecil itu masih polos, belum punya dosa, belum sombong, belum tahu bahasa verbal retoris munafik ala politisi partai pengumbar janji-janji, maka mereka, anak-anak kecil berbicara menggunaan bahasa alam yaitu perpaduan firasat, insting, dan imajinasi, tanpa dibatasi oleh kotak berbentuk alat kelamin pria bernama logika. Mereka adalah representasi dari kebahagian tanaman-tanaman yang rindu tetesan air hujan setelah berpuasa berbulan-bulan di musim kemarau. Mereka laksana ekspresi spontanitas alam yang tertuang melalu kanvas kosong yang belum terkontaminasi cat-cat produksi pabrik.
Sebetulnya tiap kali hujan turun musuh yang kemungkinan akan kuhadapi tak hanya bapak tetapi juga ibu. Aku sebisa mungkin akan meluputkan diri dari pengawasan wanita tua super cerewet itu. Ibu tak akan dengan mudahnya mengizinkan aku main hujan-hujan. Beliau akan melapor bapak ketika aku punya gelagat mencuri-curi kesempatan kabur. Kebencian ibu pada hujan bukanlah tanpa alasan. Sebab suatu hari aku pernah sakit demam. Ibu memfitnah hujan dengan kejamnya hanya karena beliau melihatku sore harinya bermain dengan teman bermain terbaik seduniaku itu. Padahal ia tak salah apa-apa kecuali membuatku bahagia.
Seperti kebanyakan orang tua lainnya, Bapak atau ibu cenderung mengutuk hujan dengan penuh kebencian. Wajarlah sebab orang tua umumnya menganggap, hujanlah si biang kerong penyebab jemuran ibu-ibu tak bisa kering dalam sehari, hujanlah yang membuat acara arisan sembako di rumah pak RT jam 5 sore jadi molor berjam-jam hingga bada isya, hujan pulalah yang membuat segala kegiatan penting dengan mudahnya terabaikan seperti pengajian di rumah kami yang cuma dihadiri tidak sampai separuh tamu undangan. Ini bisa dimaklumi sebab orang kampungku jarang yang punya mobil, jadi kalau kemana-mana kudu naik sepeda atau motor. Sesunguhnya baik naik mobil atau naik motor kalau kita pandai-pandai bersyukur ada enaknya juga. Enaknya naik mobil jelas, adalah kalau hujan gak kehujanan, kalau panas gak kepanasan. Sementara enaknya naik motor adalah kalau panas gak kehujanan, kalau hujan gak kepanasan.
Sekarang aku mulai dewasa, setidaknya begitulah anggapan orang-orang terhadapku hanya karena aku sudah lulus dari SMA, pernah ikut tawuran walau kalah, mulai berjembut walau tak terlalu lebat. Padahal mereka tak tahu saja kalau aku masih suka main gundu, mbolang bersama-sama keponakanku dan teman-temanya yang masih SD, atau menonton kartun anak-anak seperti boboiboy, upin-ipin dan keluarga Somat. Kedewasaan yang kualami secara mentalitas adalah salah satunya mulai membenci teman terbaik seduniaku. Ya aku belakangan mulai sadar bahwa hujan yang tidak pada waktunya memang terasa merugikan. Kalau boleh jujur sebetulnya hujan tak salah apa-apa. Aku saja yang mengambing hitamkan hujan untuk menutupi kemalasanku pergi kuliah, pergi jumatan, pergi kondangan, atau pergi-pergi lainnya yang mengharuskanku angkat kaki dari rumah. Seolah-olah kalau hujan turun kegiatan seurgent apapun jadi terasa logis untuk dibatalkan.
"Sori, bro gak bisa di sini hujannya deres banget eg!"
"Ga iso teko, bro! Ono udan!"
"Oke berangkat! Kalau gak hujan tapi."
Kebencian terhadap hujan ini mayoritas dialami oleh orang dewasa pendosa sok suci hobi onani pemakan tahi penjilat babi ngentot aki-nini korupsi. Mereka menulis berita hujan deras mengakibatkan puluhan rumah warga tergenang air setinggi satu meter. Lagi-lagi mengambing hitamkan hujan atas ketidabecusan menangani banjir. Padahal kalau kita telaah banjir itu tak sepenuhnya salah hujan. Banjir bisa jadi disebabkan oleh perbuatan orang dewasa yang membuang sampah di kali, menebang pohon di hutan jati, membuat pemukiman kumuh pinggir kali, atau reklamasi berkedok revitalisasi yang katanya demi NKRI padahal buat kantong sendiri. Tapi mereka, si kampret-kampret tua bangka ini tak sadar juga rupanya, masih congkaknya bilang itu semua takdir Illahi. Ya Tuhanku berilah aku ekstasi. Hobi kok munapik.
Aku takut pada suatu saat nanti aku menua juga. Pikiran jadi tumpul, kolot, dan mau menang sendiri. Menyalahkan faktor luar padahal masalah utama datang dari sendiri. You are what stop you! Mungki para orang dewasa ini mulai benar setidaknya MERASA benar karena sudah tidak pernah lagi dimarahi oleh bapak ibu mereka. Rata-rata mereka sudah yatim piatu. Apapun yang mereka lakukan adalah benar selalu benar sebab tak ada lagi orang yang memukul kepala mereka seraya bilang;
"Heh, tidur sana besok kan kamu harus berangkat kerja pagi, nak"
"Nak, jangan hujan-hujan nanti sakit!"
"Nak, kamu ini nyapu kok selalu ndak bersih to?"
Kesotoy-an yang kubenci dari orang-orang dewasa itu bukan soal siapa benar salah. Toh kebenaran juga tak selalu bernilai absolut. Tapi ketidak-jujuran merekalah yang membuatku muak. Tiada integritas terucap dari mulut mereka. Mereka tak setulus saat mereka masih polos-polosnya sebagai manusia. Jika A bilang saja A, jika B bilang saja B, bukannya A, B, C yang penting oke. Mereka salih kelihatannya tapi korupsi juga, mereka jujur kelihatannya tapi nipu juga, mereka sederhana kelihatannya tapi nyuci duit juga. Walaupun harus digaris bawahi juga bahwa tak semua orang dewasa demikian. Aku sendiri juga mengalami fase itu. Menukar kemunafikan demi beberapa impian. Aku juga dewasa dan menyebalkan. Tapi aku selalu berharap bahwa kebencianku pada hujan bisa segara hilang. Tapi siapa tahu kelak aku jadi anggota DPRD memanipulasi pemenang tender proyek dan minta seluruh anggota keluargaku diberangkatkan umroh? Aku juga berpotensi jadi bajingan.
Hujan, di Sidoarjo,

No comments:
Post a Comment