Sok Marxist. oleh: Henz
Aldo tidak mandi lagi. Kebetulan pagi itu ada kuliah pagi. Semalam ia habis mabuk-mabukkan setelah acara makrab di kampus. Aku dibujuknya meminum oplosan itu. Ia berujar kalau minum arak akan menambah kedewasaan seseorang. Tapi sayangnya ia gagal. Aku masih enggan meneguk air surga itu walaupun sudah diiming-imingi dengan hadiah traktir makan di kantin. Meskipun ia agak kesal dengan memaki-makiku, namun tak lama berselang ia kembali tertawa-tawa tak jelas sambil sesekali memelukku. Aneh dan lucu juga ya orang mabuk itu.
Aku sengaja menginap di kost Aldo karena pesta miras itu baru berakhir jam 2 pagi. Agak menakutkan bagiku pulang di jam-jam tersebut mengingat saat itu begal masih ngehits di seputaran Surabaya. Dari pada mati konyol dibegal, lebih baik mati di pelukanmu. Abaikan.
Esok paginya, aku sudah mandi. Aku tak berani membangunkan Aldo yang masih tertidur pulas tapi aku jahat juga kalau harus membiarkannya tak kuliah pagi itu. Kebetulan Aldo tidur di lantai beralaskan matras jadi ku goyangkan saja badannya dengan kakiku agar ia bangun.
"Jam berapa?" Tanyanya sambil ngulet khas orang yang baru bangun tidur.
"Kuliah, bro!" Kataku santai.
"Ayo!" Katanya penuh semangat seraya bangkit dari rebahnya.
Dengan bekas liur yang masih membekas pada salah satu pipinya, mata memerah karena kurang tidur, nafas masih bau miras serta rambut gondong acak-acakannya, ia masih begitu semangatnya untuk mengikuti perkuliahan pagi sebab kuliah saat itu akan membahas teori sastra marxisme.
"Gak mandi dulu, Do?" Tanyaku.
"Nanti telat. Cuci muka aja." Jawabnya buru-buru ke kamar mandi.
Begitulah Aldo yang kukenal. Ia jalani hidupnya sebebas-bebasnya, sesuka-sukanya, tanpa peduli apa kata orang tentang dirinya. Kamar kostnya dipenuhi buku-buku berhalauan kiri. Marx, Lennin, Mao, Che, Engels, dan sebagainya berserakan di lantai. Entah karena ia baca atau dibuatnya menjadi bantal tidur aku tak tahu. Buku-buku itu pernah sebagian dipinjamkannya padaku. Awalnya aku tak suka membaca buku beraliran kiri namun karena Aldo memaksa akhirnya aku membacanya juga walaupun tak sampai selesai. Ia memimpikan kesamarataan ada di Indonesia. Ia mengutuk bos pabrik besar yang menurutnya Kapitalis itu sebagai biang kerok melaratnya kita sebagai bangsa.
"Bud, kamu tahu? Suatu saat sistem kapitalis di Indonesia ini akan bobrok dan digantikan oleh komunisme." Katanya berapi-api.
"Maksudnya?" Tanyaku kebingungan tak mengerti apa maksud perkataan Aldo.
Kesamarataan yang bagaimana aku juga tak paham maksud dari Aldo ini. Maka aku tanya lagi.
"Kenapa komunis, Mad?"
"Karena komunis itu setara, sama-rata, tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin." Jelasnya.
"Setara gimana? La nanti kalau gaji pegawai gimana? Masa bos yang notabene tanggung jawabnya besar gajinya sama dengan buruh lapangan?" Protesku.
"Makanya pakai sistem koperasi, goblok!" Katanya agak emosi.
"Oke pake sistem koperasi. Tapi itukan ranahnya kecil jadi gampang ngatur gajinya. Lha terus kalau ranahnya negara distribusi uang atau gajinya gimana supaya semua sama banyaknya? Kalau gitu orang-orang jadi males dong nggak kreatif karena berusaha sekeras apapun gaji mereka tetap sama seperti yang nganggur." Aku membantahnya.
"Itu yang belum terpikirkan, su! Aku harus banyak baca lagi tapi yang jelas kalau kapitalisme sudah semena-mena sudah saatnya buruh mengambil alih alat produksi." Katanya berapi-api.
Aldo memang dalam tahap menentang para kapitalis. Ia suka sekali turun ke jalan (ikut demo) sampai-sampai Ia berujar padaku bahwa ia lebih bangga mati di jalan dari pada di kasur. Maka saat ia memboncengku di jalan aku sengaja memukuli kepalanya.
"Kenapa, su? Kok pukul-pukul?"
"Biar kamu mati di jalan, Do!"
Benar-benar pemikirian ekstrimis dari mahasiswa yang terhegemoni oleh paham komunis.
Beberapa kali ia mengajakku demo tapi mengajakku demo, agendanya haruslah jelas karena kalau tak jelas dan dibayar nasi kotak pasti aku tak ikut. Aku khawatir demo yang dibayar nasi kotak itu merupakan kepentingan elit partai politik. Bukannya mencurigai parpol, tapi bagiku partai politik tak ubahnya cuma alat produksi yang digunakan untuk memperkaya diri dengan embel-embel kesejahteraan rakyat. Pas kampanye koar-koarnya demi rakyat padahal kalau sudah jadi dpr atau kepala daerah, mereka korupsi duitnya dipakai bangun rumah, berangkat umroh dan beli mobil baru. Itupun pas ketangkep kpk masih bisa senyum sambil bilang.
"Insyallah ini semua cuma fitnah. Kekayaan saya nggak seperti tuduhan KPK."
Ya iyalah pak wong sampean pinter money laundry kok. Supir bapak uang di rekeningnya berapa? Istri? Pembantu? Saudara jauh? Sepintar-pintar bangkai disembunyikan pasti baunya tercium juga.
"Becik ketitik olo ketoro lan ciloko, pak!" Kataku pada salah seorang anggota DPRD yang sengaja membenturkan kepalanya sendiri ke tiang listrik depan rumahku berkali-kali agar tidak diinterogasi KPK.
"Becik ketitik olo ora opo-opo." Jawabanya cengengesan sambil tetap menyunduli tiang listrik depan rumahku.
Amad memproklaim dirinya adalah orang merdeka. Merdeka artinya bebas. Salah satunya bebas dari dogma agama. Ia sebetulnya muslim setidaknya di ktpnya tertulis demikian. Hanya karena ia malas sholat, dan terhipnotis perkataan Karl Marx bahwa agama adalah candu, dengan pedenya ia berkata bahwa;
"Aku adalah seorang atheist!"
"Iya, aku percaya, Do! Tapi atheist macam apa yang kalau lewat kuburan masih takut pocong?" Sindirku.
Ia hanya terdiam dan tak menjawab pertanyaanku.
"Atheist yang goyah imannya? Haha. Udah sholat aja, Do!" Aku meledek Aldo.
"No! Aku tetap bisa bermoral tanpa dogma agama!" Katanya tegas.
"Terserah wis." Jawabku acuh.
Orang yang belum kenal dekat pasti menganggap Aldo tak ubahnya mahasiswa frustasi yang kesulitan belajar namun menutupi ketidakmampuan akademisnya dengan ikut kegiatan sosialis binti marxis. Aku tak menyalahkan cara hidupnya sih, toh orang seperti Aldolah yang justru membawa perubahan. Di saat semua mahasiswa rajin-rajinnya kuliah agar bisa lulus tepat waktu, Aldo justru memilih ikut demo hari buruh dan membolos kuliah demi ikut bersuara terhadap ketidak adilan yang dialami buruh. Di saat mahasiswa lain ketakutan tidak lulus mata kuliah tertentu, Aldo justru cuek dan lebih memilih mengikuti diskusi sastra aliran kiri. Di saat beberapa dosen yang tak tahu apa-apa tentang Aldo melabeli Aldo tak ubahnya sebagai sampah universitas pembuat akreditasi turun, ia tak peduli ia tetap akan berdemo.
Aldo hidup dengan jalan hidupnya sendiri. Ia berpandangan bahwa Marxisme adalah penawar luka bangsa Indonesia. Maka saat wacana pemutaran film g30s pki serentak garapan era Soeharto ia langsung murka. Ia tak setuju karena film itu tidak sesuai fakta dan hanya digunakan sebagai propaganda demi melanggengkan kekuasaan Soeharto. Moodnya langsung berubah ketika ia bertemu denganku. Ia mengungkapkan ekspresi kekecewaannya padaku padahal aku tak salah apa-apa.
"Goblok itu goblok! Wong jelas beberapa tahun pas era Harto lengser la kok sekarang di puter lagi."
"Aku salah apa to, Do."
"Pokoke Goblok!"
Meski begitu Aldo adalah kawanku. Ia adalah orang pertama yang membenciku gara-gara aku mempunyai mimpi jadi pengusaha sukses seperti etnis Tiongkok. Ia adalah seseorang yang disebut BAJINGAN oleh masyarakat umum yang belum mengenalnya lebih jauh. Namun jauh di dalam sana, ia tidak munafik. Ia bilang padaku bahwa ia adalah setan. Banyak pelanggaran norma yang dilakukannya seperti minum miras, seks dengan banyak perempuan, ikutan demo dan masih banyak lagi.
"Semua sudah pernah kulakukan, Bud kecuali satu membunuh orang." Katanya dengan nada seram.
Ia sering membujukku untuk minum miras dengan iming-iming traktir makan, ia bahkan pernah akan memberiku uang untuk menyewa wanita tuna susila demi menanggalkan keperjakaanku, ia pernah memaksaku bolos kuliah hanya untuk berpanas-panaskan ikut demo. Tapi sama seperti Aldo aku juga orang merdeka. Aku bebas menentukan jalanku sendiri. Aku bebas menentang Aldo bila aku tak setuju dengan pendapatnya. Aku merdeka dengan pandangan individualisme dimana aku harus menjadi aku. Kami seperti minyak dan air dalam hal ideologi tapi kami bagai kepompong dalam persahabatan.

No comments:
Post a Comment